Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 13 Mei 2016

Perjanjian Khusus



MENGENAL LEBIH DEKAT PERJANJIAN KREDIT





 Menurut Pasal 1(11) UU No.10/1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) sebagai berikut  “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Kemudian yang dimaksud dengan Perjanjian Kredit adalah perjanjian pemberian kredit antara pemberi kredit dan penerima kredit”. setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit. Pasal 1313 Kitab UU Hukum Perdata (KUHPer) menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
 Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada perjanjian) yang berbentuk pinjam-meminjam. Perjanjian kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjam-meminjam. Di sisi lain, walaupun perjanjian kredit berakar dari perjanjian pinjam-meminjam tetapi ia berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjan seperti tercantum dalam KUHPer. Pasal 1754 KUHPer Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

SYARAT SAH PERJANJIAN KREDIT
Karena perjanjian kredit elemen pembentuknya adalah perjanjian pada umumnya, oleh karenannya syarat sah perjanjian tersebut sama halnya dengan syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPer yang menentukan 4 syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
Unsur Subjektif
1. Sepakat;
dalam kontrak adalah PERASAAN RELA ATAU IKHLAS diantara pihak pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Selanjutnya kesepakatan dinyatakan tidak ada bila adanya suatu penipuan, kesalahan, paksaan, dan penyalahgunaan keadaan.
2. Kecakapan;
berarti orang orang yang terlibat dalam perjanjian tersebut adalah orang yang oleh hukum dapat dianggap subjek hukum, yang tidak cakap oleh hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditempatkan dalam pengawasan / pengampuan, orang yang sakit kejiwaannya.
Unsur Objektif
1. Suatu hal tertentu:
Artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan;
2. Suatu sebab yang halal.
Berarti perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang – Undang lainnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
 Pelanggaran terhadap Unsur Subjektif berarti perjanjian tersebut dapat diminta untuk dibatalkan melalui upaya hukum dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri. Pelanggaran terhadap Unsur Objektif berarti Perjanjian tersebut secara hukum batal dengan sendirinya (batal demi hukum), dan oleh karenanya perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa.

JENIS – JENIS KREDIT
Dilihat dari pembuatannya, suatu perjanjian kredit dapat digolongkan menjadi:
  1. Perjanjian Kredit Di bawah tangan, yaitu perjanjian kredit yang dibuat oleh dan antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit tersebut tanpa melibatkan pihak pejabat yang berwenang/Notaris.
Perjanjian Kredit Di bawah tangan ini terdiri dari:
  1. Perjanjian Kredit Di bawah tangan biasa;
  2. Perjanjian Kredit Di bawah tangan yang dicatatkan di Kantor Notaris (Waarmerking);
  3. Perjanjian Kredit Di bawah tangan yang ditandatangani di hadapan Notaris namun bukan merupakan akta notarial (legalisasi).
2.    Perjanjian Kredit Notariil yaitu perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak di hadapan Notaris. Perjanjian Notariil merupakan akta yang bersifat otentik (dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang berwenang/Notaris)
Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaannya dapat berupa :
a. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang-perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat umumnya;
b. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi daripada usahanya.
Sedangkan ditinjau dari jangka waktunya dapat berupa :
1. Kredit Jangka Pendek;
2. Kredit Jangka Menengah;
3. Kredit Jangka Panjang.

PIHAK PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT
Pihak-pihak dalam perjanjian kredit antara lain :
1. Pemberi Kredit atau kreditur adalah bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank misalnya perusahaan leasing;
2. Penerima Kredit atau debitur, yaitu pihak yang bertindak sebagai subyek hukum.
FUNGSI PERJANJIAN KREDIT
Fungsi perjanjian kredit, yaitu :
1. Sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan;
2. Sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur;
3. Sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

BENTUK PERJANJIAN KREDIT
Perjanjian kredit ada 2 bentuk, yaitu :
1. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta di bawah tangan artinya perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris;
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil.
KOMPOSISI PERJANJIAN KREDIT
Komposisi perjanjian kredit secara umum terdiri dari 4 bagian, yaitu :
1. 1.Judul;

AKIBAT PERJANJIAN KREDIT
Akhibat hukum dari lahirnya suatu perjanjian kredit tidak ubahnya dengan akibat hukum terhadap lahirnya suatu perjanjian pada umumnya. secara umum hal ini menimbulkan suatu perikatan dalam bentuk hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak pada perjanjian tersebut. Dengan kata lain akibat hukum dari perjanjian Kredit tersebut adalah hal yang mengikat dan memaksa terhadap pelaksanaan perjanjian kredit tersebut.
KLAUSUL KLAUSUL PERJANJIAN KREDIT YANG MEMBERATKAN NASABAH DEBITOR
Beberapa klausul-klausul dalam perjanjian kredit yang memberatkan Nasabah Debitur antara lain:
1. Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apapun dan tanpa pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit;
2. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet;
3. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank:
4. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank;
5. Pencantuman klausul-klausul eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank;
6. Pencantuman klausul eksemsi mengenai tidak adanya hak nasabah debitur untuk dapat menyatakan keberatan atas pembebanan bank terhadap rekeningnya.

BERAKHIRNYA PERJANJIAN KREDIT
Mengenai hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1381 KUHPer tentang hapusnya perikatan. Pada praktek hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit lebih banyak disebabkan:
1. Pembayaran;
2. Subrogasi;
adalah perpindahan hak kreditur kepada pihak ketiga yang membayar kepada kreditur. hal ini dapat terjadi karena perjanjian atau undang – undang.
3. Pembaharuan Utang atau Novasi;
4. Perjumpaan Utang atau Kompensasi.
GROSSE AKTE PENGAKUAN UTANG
Grosse akta pengakuan utang ialah suatu salinan atau kutipan (secara pengecualian) dari minuta akta (naskah asli) yang di atasnya (di atas judul akta) memuat kata-kata: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan di bawahnya dicantumkan kata-kata: Diberikan sebagai Grosse Pertama, dengan menyebut nama dari orang, yang atas permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.

Hal – Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan Dalam Perjanjian Kredit
 Dengan berlakunya Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”), maka dalam isi perjanjian kredit harus pula memenuhi ketentuan-ketentuan dalam UUPK, seperti mengenai pencantuman klausula baku. Dimana dalam pasal 18 ayat (1) UUPK menyebutkan bahwa dalam perjanjian kredit dilarang mencantumkan klausula baku, antara lain:
  1. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
2.    menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.





Referensi :
http://ercolaw.com/index.php?option=com_content&view=article&id=57:mengenal-perjanjian-kredit&catid=25:the-project&Itemid=50


Tidak ada komentar:

Posting Komentar