Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 20 April 2015

Perekonomian Thailand 2





STRUKTUR PRODUKSI, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI NEGARA THAILAND
 Struktur Produksi
Struktur produksi adalah logika proses produksi, yang menyatakan hubungan antara beberapa   pekerjaan pembuatan komponen sampai menjadi produk akhir, yang biasanya ditunjukkan dengan menggunakan skema. Struktur produksi nasional dapat dilihat menurut lapangan usaha dan hasil produksi kegiatan ekonomi nasional. Berdasarkan lapangan usaha struktur produksi nasional terdiri dari sebelas lapangan usaha dan berdasarkan hasil produksi nasional terdiri dari 3 sektor, yakni sektor primer, sekunder, dan tersier.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan ekonomi struktur produksi suatu perekonomian cenderung mengalami perubahan dari dominasi sektor primer menuju dominasi sektor sekunder dan tersier. Perubahan struktur produksi dapat terjadi karena :
·         Sifat manusia dalam perilaku konsumsinya yang cenderung berubah dari konsumsi barang barang pertanian menuju konsumsi lebih banyak barang-barang industri
·         Perubahan teknologi yang terus-menerus, dan
·         Semakin meningkatnya keuntungan komparatif dalam memproduksi barang-barang industri.
Struktur produksi nasional pada awal tahun pembangunan jangka panjang ditandai oleh peranan sektor primer, tersier, dan industri. Sejalan dengan semakin meningkatnya proses pembangunan ekonomi maka pada akhir Pelita V atau kedua, struktur produksi nasional telah bergeser dari dominasi sektor primer menuju sektor sekunder.

Pendapatan nasional
Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.
Konsep Perhitungan
Berikut adalah beberapa konsep perhitungan pendapatan nasional :
1) Produk Domestik Bruto/Gross Domestik Produk (PDB/GDP)
Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) yaitu jumlah suatu produk yang berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karena jumlah yang didapatkan dari GDP bersifat bruto/kotor.
2) Produk Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB yaitu meliputi nilai-nilai produk yang berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk selama satu tahun, termasuk hasil-hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.
PNB = PDB + Pendapatan faktor produksi luar negeri – Pembayaran Faktor produksi luar negeri
3) Produk Nasional Neto (NNP)
Produk Nasional Neto (Net National Product) adalah penggantian barang modal/penyusutan bagi peralatan produksi yang dipakai dalam proses produksi yang umumnya bersifat taksiran sehingga mungkin saja kurang tepat dan dapat menimbulkan kesalahan meskipun relatif kecil.
NNP = GNP – Depresiasi
4) Pendapatan Nasional Neto (NNI)
Pendapatan Nasional Neto (Net National Income) adalah pendapatan yang dihitung berdasarkan jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakt sebagai pemilik faktor produksi. Besarnya NNI dapat diperoleh dari NNP dikurang pajak langsung( subsidi ).
NNI = NNP – Pajak Langsung
5) Pendapatan Perseorangan (PI)
Pendapatan perseorangan (Personal Income) yaitu pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Pendapatan perseorangan juga menghitung pembayaran transfer (transfer payment). Transfer payment adalah penerimaan-penerimaan yang bukan merupakan balas jasa produksi tahn ini, melainkan diambil dari sebagian pendapatan nasional tahun lalu. Untuk mendapatkan jumlah pendapatan perseorangan, NNI harus dikurangi dengan laba ditahan, dikurangi Pembayaran asuransi ditambah dengan pendapatan bunga personal dari pemerintah dan konsumen ditambah dari penerimaan bukan balas jasa.
PI = NNI – Laba ditahan – Pembayaran asuransi + Pendapatan bunga personal + Penerimaan Bukan balas jasa.
6) Pendapatan yang siap dibelanjakan (DI)
Disposable Income adalah pendapatan yang siap untuk membeli barang dan jasa. Disposable income ini diperoleh dari personal income (PI) dikurangi dengan pajak pendapatan personal (Pajak Langsung). Pajak langsung (direct tax) adalah pajak yang bebannya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, artinya harus langsung ditanggung oleh wajib pajak, contohnya pajak pendapatan. DI = PI – Pajak pendapatan prsonal.


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
Gross domestic product (GDP in U.S.$)
$177 billion (2005)
GDP per capita (U.S.$)
$2,749.90 (2005)
Monetary unit
1 baht (B), consisting of 100 satangs
Angkatan Kerja
35,724,939 (2005)
Pengangguran Rata-Rata
1.5 percent (2004)
 Setelah menikmati rata-rata pertumbuhan tertinggi di dunia dari tahun 1985 hingga 1995 rata-rata 9% per tahun, tekanan spekulatif yang meningkat terhadap mata uang Thailand (Baht) pada tahun 1997 menyebabkan terjadinya krisis yang membuka kelemahan sektor keuangan dan memaksa pemerintah untuk mengambangkan Baht. Setelah sekian lama dipatok pada nilai 25 Baht untuk satu dolar AS, Baht mencapai titik terendahnya pada kisaran 56 Baht pada Januari 1998 dan ekonominya melemah sebesar 10,2% pada tahun yang sama. Krisis ini kemudian meluas ke krisis finansial Asia.Thailand memasuki babak pemulihan pada tahun 1999. Ekonominya menguat 4,2% dan tumbuh 4,4% pada tahun 2000, kebanyakan merupakan hasil dari ekspor yang kuat, yang meningkat sekitar 20% pada tahun 2000. Pertumbuhan sempat diperlambat oleh ekonomi dunia yang melunak pada tahun 2001, namun kembali menguat pada tahun-tahun berikut berkat pertumbuhan yang kuat di Thailand dan beberapa program stimulan dalam negeri serta Kebijakan Dua Jalur yang ditempuh pemerintah Thaksin Shinawatra. Pertumbuhan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai 6,3%, dan diperkirakan pada 8% dan 10% pada tahun 2004 dan 2005.Banyak faktor yang mendukung cepatnya pertumbuhan ekonomi di Thailand. Antara lain gaji yang rendah, reformasi kebijakan ekonomi menjadi perekonomian terbuka yang berorientasi pada perdagangan (liberalisasi ekonomi), serta adanya manajemen ekonomi yang sangat baik, yang mengakibatkan inflasi rendah dan nilai tukar yang stabil. Faktor ini yang menjadikan Thailand sebagai tujuan yang sangat ideal bagi para investor asing. Tidak hanya itu, perindustrian di Thailand yang berorientasi ekspor daripada impor, menjadikan negara ini salah satu negara pengekspor terbesar di ASEAN, seperti produksi pakaian, alas kaki, elektronika, mesin-mesin (khususnya mesin diesel dan alat-alat pertanian) dan peralatan konsumen. Sektor pariwisata juga menyumbang banyak terhadap perekonomian Thailand, dan industri ini memperoleh keuntungan tambahan dari melemahnya Baht dan stabilitas Thailand. Kedatangan wisatawan pada tahun 2002 (10,9 juta) mencerminkan kenaikan sebesar 7,3% dari tahun sebelumnya (10,1 juta).


Distribusi Pendapatan Nasional & Kemiskinan

Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya. Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative kecil dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi dunia internasional.

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.

Adapun secara umum penyebab kemiskinan diantaranya:

1.     Kemalasan.
2.     Kebodohan dan pemborosan.
3.     Bencana alam.
4.     Kejahatan, misalnya dirampok
5.     Genetik dan dikehendaki Tuhan, baik genetika orang tua, tempat lahir, kondisi orang tua yang miskin

Perhitungan
Pendapatan negara dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu:
  • Pendekatan pendapatan, dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (upah, sewa, bunga, dan laba) yang diterima rumah tangga konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang diberikan kepada perusahaan.
  • Pendekatan produksi, dengan cara menjumlahkan nilai seluruh produk yang dihasilkan suatu negara dari bidang industri, agraris, ekstraktif, jasa, dan niaga selama satu periode tertentu. Nilai produk yang dihitung dengan pendekatan ini adalah nilai jasa dan barang jadi (bukan bahan mentah atau barang setengah jadi).
  • Pendekatan pengeluaran, dengan cara menghitung jumlah seluruh pengeluaran untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi negara, yaitu: Rumah tangga (Consumption), pemerintah (Government), pengeluaran investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi impor (X-M)
Rumus menghitung pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut :
g = {(PDBs-PDBk)/PDBk} x 100%
g = tingkat pertumbuhan ekonomi PDBs = PDB riil tahun sekarang PDBk = PDB riil tahun kemarin
Contoh soal :
PDB Indonesia tahun 2008 = Rp. 467 triliun, sedangkan PDB pada tahun 2007 adalah = Rp. 420 triliun. Maka berapakah tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 jika diasumsikan harga tahun dasarnya berada pada tahun 2007 ?
jawab :
g = {(467-420)/420}x100% = 11,19%
Manfaat
Selain bertujuan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara dan untuk mendapatkan data-data terperinci mengenai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara selama satu periode, perhitungan pendapatan nasional juga memiliki manfaat-manfaat lain, diantaranya untuk mengetahui dan menelaah struktur perekonomian nasional. Data pendapatan nasional dapat digunakan untuk menggolongkan suatu negara menjadi negara industri, pertanian, atau negara jasa. Contohnya, berdasarkan perhitungan pendapatan nasional dapat diketahui bahwa Indonesia termasuk negara pertanian atau agraris, Jepang merupakan negara industri, Singapura termasuk negara yang unggul di sektor jasa, dan sebagainya.
Disamping itu, data pendapatan nasional juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya kontribusi berbagai sektor perekomian terhadap pendapatan nasional, misalnya sektor pertanian, pertambangan, industri, perdaganan, jasa, dan sebagainya. Data tersebut juga digunakan untuk membandingkan kemajuan perekonomian dari waktu ke waktu, membandingkan perekonomian antarnegara atau antardaerah, dan sebagai landasan perumusan kebijakan pemerintah.
Faktor yang Mempengaruhi
·  Permintaan dan penawaran agregat
Permintaan agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan permintaan terhadap barang-barang dan jasa sesuai dengan tingkat harga. Permintaan agregat adalah suatu daftar dari keseluruhan barang dan jasa yang akan dibeli oleh sektor-sektor ekonomi pada berbagai tingkat harga, sedangkan penawaran agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan penawaran barang-barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan dengan tingkat harga tertentu. Jika terjadi perubahan permintaan atau penawaran agregat, maka perubahan tersebut akan menimbulkan perubahan-perubahan pada tingkat harga, tingkat pengangguran dan tingkat kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Adanya kenaikan pada permintaan agregat cenderung mengakibatkan kenaikan tingkat harga dan output nasional (pendapatan nasional), yang selanjutnya akan mengurangi tingkat pengangguran. Penurunan pada tingkat penawaran agregat cenderung menaikkan harga, tetapi akan menurunkan output nasional (pendapatan nasional) dan menambah pengangguran
  • Konsumsi dan tabungan
Konsumsi adalah pengeluaran total untuk memperoleh barang-barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), sedangkan tabungan (saving) adalah bagian dari pendapatan yang tidak dikeluarkan untuk konsumsi. Antara konsumsi, pendapatan, dan tabungan sangat erat hubungannya. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat Keynes yang dikenal dengan phisicology composition yang membahas tingkah laku masyarakat dalam konsumsi jika dihubungkan dengan pendapatan.
  • Investasi
Pengeluaran untuk investasi merupakan salah satu komponen penting dari pengeluaran agregat.


Pembangunan Perekonomian Thailand
Indonesia (250 juta orang) dan Thailand (65 juta orang) adalah dua negara yang segolongan dalam perekonomian: sama-sama negara berkembang, mantan macan Asia pada tahun 1990an, pernah mengalami krisis mata uang, sama-sama berada di jalur demokrasi walau dengan gaya berbeda, dan kini sama-sama ingin menjadi negara maju berikutnya setelah tertinggal dari Malaysia (26 juta orang) apalagi Singapura (4,5 juta orang). Lihat Tabel 1. Thailand bersama Indonesia juga sama-sama menempati posisi terburuk kedua dalam peringkat korupsi di Asia (survei PERC 2007).
Di tengah upaya memacu pertumbuhan ekonominya, Thailand menghadapi perubahan politik dalam negeri. Dua hal ini, ekonomi dan politik, saling berkaitan dan memberi pengaruh yang luas pada tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Makalah ini membahas perkembangan ekonomi Thailand, dengan fokus pada upaya pemerintah Thailand mengatasi krisis moneter tahun 1997, outlook perkembangan ekonomi setelah pergantian pemerintahan, hubungan ekonomi luar negeri dan program-program menarik yang dapat menjadi pembelajaran bagi pengambil kebijakan bidang ekonomi di Indonesia.
THAILAND SETELAH KRISIS 1997
Dalam upaya mengakhiri krisis mata uang tahun 1997, Thailand sejak awal telah berupaya meningkatkan ekspornya. Pertumbuhan ekspor tahun 2002 Thailand tercatat sudah mengalami kenaikan sebesar 2,8%. Ekspor mengkontribusi sekitar 60% dari total nilai PDB Thailand, sehingga pertumbuhan ekonomi Thailand turut terangkat cepat. Pada tahun itu juga Thailand telah membayar lunas utangnya sebesar 17 miliar USD ke IMF. Pertimbangannya, Thailand tidak ingin terbebani bunga pinjaman dari IMF yang sekitar 2,9% per tahun. Alasan lain adalah bahwa perekonomian Thailand semakin tumbuh mantap dan investasi asing sudah berdatangan, sehingga tidak memerlukan bantuan dana IMF.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, Thailand mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar daripada penerimaannya. Anggaran defisit pemerintahan Thailand pada tahun 2002 sekitar 3,4%, sengaja ditingkatkan dari 0,8% pada tahun 2001. Kebijakan ekspansif sektor fiskal itu memungkinkan permintaan domestik pada perekonomian Thailand meningkat, karena porsi belanja modal lebih tinggi daripada belanja untuk keperluan lain, dan belanja modal itu lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan prasarana yang menyerap lapangan kerja banyak sehingga mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk termasuk petani yang produknya mengalami peningkatan permintaan.
Hanya empat tahun setelah krisis, Thailand telah berada di urutan ke-5 dari 10 besar negara di Asia Pasifik yang menerima aliran investasi asing langsung terbanyak, setelah Cina, Hongkong, Singapura, dan Taiwan. Saat itu, Thailand menerima aliran FDI masuk sebesar 3,8 miliar USD, cukup signifikan untuk mengembalikan perekonomian Thailand seperti sebelum krisis. Namun laju ekonomi Thailand kemudian melambat. Seperti halnya Indonesia, pertumbuhan ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap gejolak harga minyak. Harga BBM meningkatkan inflasi dan suku bunga. Tahun 2006 ekonomi Thailand mencatat pertumbuhan sekitar 4,2% tidak jauh berbeda dengan 4,5% pada tahun 2005. Pertumbuhan ini adalah yang paling lambat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
DRAMA POLITIK THAILAND
Thailand adalah negara yang sudah terbiasa dengan perubahan pemerintahan. Kudeta pertama di Thailand dilakukan oleh perwira-perwira Thai pada tahun 1932, yang mengakhiri sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Sejak itu percobaan kudeta terjadi sebanyak 17 kali sampai tahun 1991. Pada tahun itu Jenderal Sunthon Kongsomphong menggulingkan PM Chatchai Choonhavan karena krisis politik sebelumnya telah menyebabkan ketidakstabilan jalannya pemerintahan. Sejak itu militer berusaha menjaga jarak dengan hiruk pikuk sektor politik. Namun kudeta tahun 1991 itu ternyata hanya tercatat sebagai kudeta terakhir pada abad ke-20.
Pada awal tahun 2006 Thailand mengalami keonaran politik cukup ramai. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja PM Thaksin Shinawatra disulut oleh kebijakan penjualan 49% saham Shin Corp kepada Temasek Holdings dari Singapura. Perusahaan tersebut dijual hanya dua hari setelah Pemerintah mengubah peraturan rasio kepemilikan saham perusahaan asing dari 25% menjadi 49%. Pelaksanaan tender itu oleh masyarakat dinilai bernuansa KKN. Sejak itu rakyat Thailand berulang kali mengecam PM Thaksin Shinawatra. Gelombang aksi unjuk rasa besar menyebabkan pengunduran diri PM Thaksin pada bulan April 2005. Namun, tidak lama kemudian Thaksin Shinawatra menyatakan kembali menjabat sebagai PM. Sejak kembalinya PM Thaksin Shinawatra, situasi politik di Thailand mengalami ketidakpastian terus menerus. Berbagai persoalan mulai dari investasi yang tersendat hingga kasus korupsi dan narkoba menjadi penyebab masalah pokok ekonomi dan politik di Thailand.
Pada tanggal 19 September 2006, Dewan Reformasi Demokrasi mengumumkan pengambil-alihan kekuasaan dari tangan PM Thaksin Shinawatra. Sejumlah alasan bagi dilancarkannya kudeta tersebut a.l. meluasnya perpecahan di dalam negeri dan masalah dalam pemerintah yang dipicu oleh ketidakpercayaan masyarakat, tuduhan korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Militer kemudian menetapkan keadaan darurat perang, membekukan konstitusi 1997, membubarkan parlemen dan Mahkamah Agung. Kudeta ini mengagetkan banyak pengamat politik asing.
PRAKARSA STRATEGIS YANG MENGEJUTKAN
Pengaruh ekonomi dunia dan reaksi spontan pemerintah juga menimbulkan goncangan ekonomi Thailand pada akhir tahun 2006. Sebelumnya, pada pertengahan tahun 2006, muncul outlook bahwa The Fed akan menurunkan tingkat suku bunganya karena laju inflasi tahunan menurun dari 3,82% (Agustus 2006) ke 1,31% (Oktober 2006). Sementara itu, Bank Sentral Eropa baru saja menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin ke level 3,5% karena inflasi yang tinggi. Ekspektasi akan terjadinya penurunan suku bunga di AS di tengah semakin tingginya suku bunga di Eropa menyebabkan Dolar AS melemah terhadap Euro dan sebagian besar mata uang dunia. Ini menyebabkan Baht juga mengalami penguatan dari 37,6 per Dolar AS di awal bulan Oktober 2006, menjadi 35,1 per Dolar AS pada tanggal 18 Desember 2006.
Dalam waktu kurang dari tiga bulan nilai Baht mengalami penguatan sebesar 6,4%. Penguatan ini lebih cepat dari penguatan mata uang negara lain. Penguatan Baht yang terlalu cepat ini menimbulkan kekhawatiran yang cukup mendalam. Baht yang terlalu kuat akan mengurangi daya saing produk-produk Thailand di pasar dunia. Jika hal ini dibiarkan terus, maka Baht akan melampaui nilai fundamentalnya. Koreksinya dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketidakstabilan di pasar mata uang.
Bank of Thailand (BoT) kemudian membuat sejumlah kebijakan. Pada Desember 2006, BoT mengharuskan perbankan memberlakukan ketentuan bahwa 30% dari deposito mata uang luar negeri akan bebas bunga selama satu tahun. Kebijakan itu untuk mencegah investor berspekulasi terhadap Baht. Para investor yang ingin menarik investasi dalam waktu kurang dari satu tahun diharuskan membayar penalti sebesar 33% dari jumlah yang diinvestasikan. Peraturan yang berlaku juga mengharuskan investasi dilindungnilaikan terhadap perubahan mata uang selama 12 bulan dan aliran investasi jangka pendek harus dihedge sepanjang umur investasi tersebut. Kebijakan pemerintah lain adalah investor asing harus mengurangi kepemilikan sahamnya menjadi maksimal 50% (sebelumnya tidak dibatasi) di perusahaan domestik dalam tempo paling lambat dua tahun. Saat ini terdapat 14.000 perusahaan asing yang telah menanamkan modalnya di Thailand. Jika mereka harus mendivestasi sahamnya, investor domestik belum tentu dapat menyerap saham yang akan dilepas. Kemungkinan ini menyebabkan banyak kalangan meragukan stabilitas ekonomi Thailand. Bisa jadi Thailand kembali memicu krisis finansial di Asia.
Kebijakan itu juga tidak memerhatikan dampak negatif terhadap pasar modal. Akibatnya, kebijakan kapital kontrol yang diambil tidak hanya membuat Baht berhenti menguat, tetapi juga membuat bursa saham di Thailand terkoreksi dengan tajam. Reaksi para pemodal adalah menarik dananya sehingga Baht melemah, seperti yang diharapkan pemerintah. Pelemahan itu diikuti merosotnya indeks SET yang mengalami koreksi 15%, level terburuk selama 16 tahun terakhir. Efek domino terasa di negara-negara Asia lain. Pengendalian modal itu telah memindahkan dana dari pasar modal senilai 23 miliar USD ke luar negeri. Menghadapi kenyataan itu, Menteri Keuangan Thailand kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengecualikan keperluan untuk transaksi saham dari kebijakan pengendalian modal tersebut. Pembatalan kebijakan capital control itu telah dapat menenangkan kembali investor di pasar modal. Bursa saham Thailand pun kembali mengalami penguatan. Kebijakan BoT tidak sepenuhnya gagal karena tujuan untuk mencegah penguatan Baht yang berlebihan dapat dinilai cukup berhasil. Bagaimanapun, BoT sudah mengirim pesan dengan tegas ke pasar bahwa ia tidak menginginkan Baht yang terlalu kuat.
Saat ini gejolak Baht dan bursa saham Thailand sudah tenang. Kekhawatiran terjadinya krisis moneter jilid 2 tidak terbukti. Bursa regional kembali bangkit setelah Filipina, Malaysia dan Indonesia menegaskan tidak akan mengeluarkan kebijakan serupa. Indeks harga saham di Asia kemudian merangkak naik kembali. Walaupun sempat menimbulkan kepanikan sesaat di negara-negara tetangga, namun keterpurukan pasar saham di Thailand sebetulnya memberi berkah bagi mereka.




Thailand - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara



Realisasi
Sebelum Ini
Tertinggi
Paling Rendah
Tanggal
Satuan
Frekuensi


-2.50
-4.10
2.50
-4.80
2003 - 2013
Persen dari PDB
Tahunan

Thailand - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara - 2014
Thailand Pemerintah
Terakhir
Sebelum Ini
Tertinggi
Paling Rendah
Satuan

-2.50
-4.10
2.50
-4.80
Persen dari PDB

45.70
43.70
57.80
15.20
Persen

-3316.00
-57481.00
165440.00
-151974.00
THB - Juta

137977.00
134321.00
137977.00
46795.00
THB - Juta

58.82







PERKIRAAN EKONOMI 2007
Tahun 2007 ini pertumbuhan ekonomi Thailand diperkirakan akan berada pada kisaran 5–6%. Kinerja ini tergantung pada produktivitas ekonomi, daya saing komoditas ekspor, dan jadi tidaknya pembangunan beberapa megaproyek, dan ada tidaknya kemajuan dalam reformasi struktural. APBN ditetapkan sebesar 1.48 triliun Baht. Utang negara dibatasi tidak lebih dari 50% PDB, kebijakan ini diumumkan secara luas kepada publik sehingga masyarakat dapat ikut mengontrolnya. Pembayaran utang sebanyak 16% dari pengeluaran APBN, sehingga tersedia cukup banyak anggaran untuk membangun negara.
Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 dan program-program penghematan energi akan mengurangi besarnya impor BBM tahun ini. Pertumbuhan ekspor diramalkan sebesar 15.3%, hampir sama dengan tahun 2006. Elektronika, komponen komputer, mobil, dan produk pertanian merupakan komoditas ekspor utama Thailand. Ekspor jasa, utamanya pariwisata, dipastikan akan terus menguat sejak bencana tsunami tahun 2004. Defisit neraca perdagangan akan sekitar $ 4.6 billion–4.9 billion atau 2.5% dari PDB. Defisit ini tidak akan menjadi masalah jika ekonomi berada di jalur pertumbuhan tinggi, dengan ekspor yang terus mendatangkan Dolar ke dalam negeri.
Strategi peningkatan ekspor dilakukan secara bersamaan dengan strategi peningkatan permintaan domestik. Permintaan domestik didorong dengan a.l. program pembangunan prasarana pedesaan yang menunjukkan multiplier effect yang tinggi. Dana untuk pembangunan lebih dari 30,000 desa telah ditingkatkan dari 9.4 triliun Baht (2005) menjadi 19 triliun Baht (2006). Tampak bahwa kebijakan alokasi anggaran pemerintah tidak menganut sistem perubahan yang pro rata.
Karena modal swasta domestik yang diperlukan untuk mengurangi tekanan pada keuangan pemerintah terbatas, maka keikutsertaan swasta asing dalam pembangunan didorong dengan public-private partnership. Pengutamaan pembiayaan untuk infrastruktur fisik menuntut peningkatan kapasitas SDM. Studi Bank Dunia mengenai iklim investasi Thailand menemukan bahwa keterbatasan SDM adalah cukup signifikan di Thailand. Pengeluaran untuk tenaga kerja menyedot sekitar 15% dari rata-rata biaya produksi. Jika kemampuan SDM dapat ditingkatkan maka biaya produksi dapat ditekan.
Agar investasi asing meningkat, Pemerintah Thailand menawarkan insentif pajak untuk reinvestasi selama 3 tahun, dan memberikan insentif untuk perusahaan eksisting jika melakukan proses peningkatan nilai tambah pada produk mentahnya, seperti melakukan pengolahan hasil pertanian.
Thailand menjadikan program privatisasi sebagai salah satu bentuk reformasi strukturalnya. Privatisasi BUMN dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan menambah penerimaan pemerintah, sekaligus untuk mengurangi pengeluaran pemerintah. Master plan privatisasi telah membuat garis besar dan komisi provatisasi juga telah bekerja untuk mengatur, menerapkan, dan mengaudit proses penjualan BUMN. BUMN yang akan diprivatisasi antara lain maskapai penerbangan dan perusahaan minyak. Meletakkan program privatisasi kembali pada jalurnya akan mendorong pertumbuhan pasar modal, membantu pembiayaan investasi infrastruktur, dan meningkatkan kepercayaan investor. PMA diharapkan akan datang dalam jumlah yang lebih banyak, dan ini berarti menambah lapangan kerja.
Namun program privatisasi terhambat oleh protes dari serikat buruh yang khawatir akan terjadi gelombang PHK. Lembaga konsumen juga cenderung anti privatisasi karena harga produk-produk dapat menjadi lebih mahal setelah privatisasi walau biasanya menurun terlebih dahulu. Privatisasi juga terganjal oleh belum adanya peraturan atau keputusan penting, seperti berapa penerimaan negara yang wajar dari penjualan suatu BUMN. Rakyat Thailand tentu tidak ingin BUMN yang ada dijual murah kepada pembeli yang biasanya dari luar negeri.
Selama ini tingkat inflasi Thailand dapat dipertahankan menjadi rata-rata satu dijit angka. Tekanan inflasi tahun ini diduga akan berkurang sejalan dengan kebijakan moneter ketat yang akan memperlambat hasrat belanja konsumen, yang mungkin juga terpengaruh oleh ketidak-pastian dalam sektor politik. Kebijakan perdagangan pemerintah Thailand yang utama adalah secara bertahap mengendalikan kenaikan harga 26 barang pokok dan 150 barang dan bahan bangunan yang sebelumnya dikendalikan secara ketat, untuk mengimbangi peningkatan biaya produksi akibat kenaikan harga BBM. Dengan cara demikian, masyarakat tidak mengalami kesulitan memperoleh bahan-bahan pokok dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengkompensasi kenaikan harga-harga akibat pengurangan subsidi BBM, misalnya.
Keterlambatan dalam realisasi APBN dan melunaknya hasrat belanja konsumen merupakan faktor penurun inflasi pada awal-awal tahun anggaran. Sedangkan kenaikan pendapatan petani merupakan faktor sebaliknya. Jika Departemen Perdagangan dapat mengendalikan kenaikan harga barang-barang konsumsi pada bulan-bulan berikutnya, maka tingkat inflasi akan sekitar 3-4% di 2007. Tahun 2006 yang lalu tingkat inflasi adalah 3.5%. Untuk mengendalikan inflasi, BoT mungkin dapat menaikkan tingkat suku bunga beberapa kali dalam setahun sehingga BoT rate mencapai tingkat 4-5.0% . Dengan mengendalikan faktor-faktor utama penyebab kenaikan harga-harga (harga BBM, gaji dan tingkat suku bunga) yang semuanya memberi pengaruh pada biaya produksi, maka inflasi akan terjaga tetap rendah. Konsumsi swasta diharapkan akan meningkat dengan menurunnya tingkat pajak pendapatan pribadi yang diterapkan sejak Agustus 2006.
Ekspor Thailand cukup prospektif sebagai mesin pertumbuhan ekonomi jika harga komoditas di pasar dunia tetap baik dan slowdown dalam perekonomian AS tidak berpengaruh banyak pada ekspor Thailand. Target ekspor Pemerintah Thailand adalah 14%. Jika ekspor tercapai seperti yang ditargetkan maka defisit neracara perdagangan pada tahun 2007 akan sekitar 2% dari PDB. Pertumbuhan PDB tergantung juga pada apakah musim kemarau panjang akan muncul lagi. Namun Departemen Pertanian telah melakukan banyak upaya untuk memperbaiki sistem irigasi, yang diharapkan akan mampu mengatasi kekeringan di pedesaan. Sektor industri diharapkan tumbuh baik pada tingkat 7%, didukung a.l. oleh tingginya pertumbuhan industri permesinan, kendaraan bermotor, dan tekstil.
RESIKO KEGAGALAN
Resiko pertumbuhan ekonomi Thailand datang dari berhasil tidaknya pelaksanaan investasi megaproyek. Walaupun perkiraan pertumbuhan ekonomi Thailand cukup cerah tahun 2007 ini dengan kondisi fiskal yang sehat, pertumbuhan ekspor baik, dan cadangan devisa cukup banyak, namun adanya ketidak-pastian di sektor politik akan mengikis kepercayaan konsumen dan investor dalam dan luar negeri. Kemungkinan ketegangan sosial di Thailand selatan akan memberikan resiko tambahan bagi perkembangan ekonomi Thailand. Mungkinkan Thailand mengikuti jejak Indonesia dalam memecahkan masalah serupa?
Harga minyak yang meningkat dapat menyebabkan masalah baru, sebab ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap harga BBM dunia. Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 adalah langkah untuk mengurangi konsumsi BBM impor. Langkah lain adalah mempromosikan penggunaan bahan bakar nabati (BBN), seperti bio-diesel dan gas-alam untuk kendaraan. Upaya pemerintah dalam hal ini adalah a.l. mengurangi bea cukai atas produksi BBN dan mengkonversi kendaraan dinas dan taksi sehingga dapat menggunakan BBN.
Ketidakstabilan sektor politik dapat menyebabkan pelaksanaan pembangunan investasi infrastruktur juga mundur dari jadual yang ditetapkan. Ditambah dengan kemungkinan harga minyak dunia yang tinggi, maka pertumbuhan jangka pendek mungkin akan tidak sebesar yang diharapkan. Jika ini terjadi maka akan ada keterlambatan dalam pemanfaatan dana 42 miliar USD untuk infrastruktur megaproyek. Sifat pemerintahan sementara saat ini juga dikhawatirkan menyulitkan pengambilan keputusan strategis yang mempengaruhi realisasi APBN, implementasi kebijakan dan program, dan penundaan proyek infrastruktur lain, seperti 3 jalur subway di Bangkok yang telah menyebabkan dana sekitar 4.3 miliar USD urung mengalir ke perekonomian Thailand pada waktunya. Investasi megaproyek berpotensi menyumbang 0.5–0.7% pertumbuhan PDB setiap tahun karena ada faktor multiplier effect. Jika investasi ini batal, maka perekonomian akan tumbuh sedang-sedang saja. Kalaupun pemerintahan baru dapat dibentuk, pemerintah diduga masih harus memusatkan perhatian pada pembenahan kembali sendi-sendi pokok kenegaraan seperti amandemen konstitusi dan bukan pada berbagai masalah ekonomi.
KEBIJAKAN DAN PROGRAM TERTENTU
Kemiripan ekonomi Thailand dan Indonesia memungkinkan kebijakan yang sama dapat diterapkan di negara lain dengan modifikasi seperlunya. Beberapa kebijakan dan progran pembangunan ekonomi Thailand yang menarik untuk diamati adalah sbb.
a. FTA dengan Jepang
Untuk meningkatkan ekspor, Thailand menjalin hubungan dagang khusus dengan Jepang melalui kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreement). Segera setelah FTA ditetapkan, sedikitnya 20 perusahaan Jepang, yang mayoritas bergerak di sektor otomotif, merencanakan menanamkan modal baru di Thailand senilai 1,15 miliar USD. Menurut Departemen Promosi Industri Thailand, total modal yang ditanamkan perusahaan-perusahaan tersebut diperkirakan mencapai 40 miliar Baht. Perusahaan asal Jepang merupakan penanam modal terbesar di Thailand, dengan kontribusi mencapai 43% dari total modal asing yang ditanam di negara itu. Saat ini terdapat sekitar 1.300 perusahaan Jepang yang beroperasi di Thailand yang mempekerjakan sedikitnya 50.000 karyawan lokal. Thailand telah menjadi home base bagi banyak perusahaan Jepang untuk melakukan ekspor ke negara-negara lain di samping membidik konsumen lokal. Sebagai contoh, Toyota Motor Thailand Ltd. pada bulan Maret 2007 berhasil menjual 22.813 unit dari total penjualan mobil sebanyak 56.021 unit. Isuzu berada di peringkat kedua dengan angka penjualan 13.922 unit. Produksi mobil ini melampaui produksi mobil di Indonesia. Lihat Tabel 2.



b. Insentf Investasi
BKPM Thailand telah menawarkan insentif kepada seluruh perusahaan yang ada di Thailand untuk penanaman modal baru. Perusahaan yang berminat mengajukan rencana investasi dan produksi kepada Badan itu. BKPM antara lain telah menyetujui rencana pengembangan mobil hemat bahan bakar. Para pengusaha harus melengkapi rencana pembangunan fasilitas produksi baru termasuk rencana memproduksi mesin dan komponen untuk mendapatkan insentif. Pengusaha juga harus membuat paling sedikit 100.000 unit mobil dalam lima tahun operasi, dan mobil yang dihasilkan harus bisa dikendarai sejauh lebih dari 20 kilometer dengan satu liter bensin saja. BKPM sebelumnya sudah mengurangi pajak impor untuk meningkatkan daya tarik investasi untuk membangun pabrik otomotif di Thailand.
c. Dukungan untuk UKM
Pemerintah Thailand mendorong UKM dengan berbagai cara yang efektif. Salah satunya adalah dengan melakukan pameran dagang di berbagai negara. Sejumlah 46 perusahaan meramaikan Thailand Exhibition 2007 pada bulan Maret 2007 di Jakarta. Pameran ini diselenggarakan oleh Office of Commercial Affairs Kedubes Thailand di Jakarta mewakili Department of Export Promotion, Departemen Perdagangan Thailand. Produk yang ditampilkan pada pameran meliputi makanan dan minuman, garmen dan tekstil, aksesori, produk kesehatan dan kecantikan serta pariwisata. Mereka juga menampilkan berbagai varietas buah segar, seperti kelengkeng, rambutan, mangga hijau, mangga kuning, buah pum, apel merah mawar dan tamarin manis. Pameran dagang ini merupakan bagian penting dari program One Tampon One Product.
Pemerintah Thailand juga mendirikan BUMN nirlaba Allied Retail Trade Co. untuk melakukan pembelian barang dari pabrik kemudian menyalurkannya ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya. Perbankan Thailand, tidak hanya bank-bank BUMN, mendorong pergerakan sektor riel dengan memberi kemudahan kredit bagi pengusaha toko tradisional yang memodernisasi toko masing-masing, yang dengan demikian mempunyai prospek baik untuk mengembalikan poinjaman. Toko-toko tradisional juga diberikan keringanan pajak apabila masuk ke dalam jaringan suplai barang BUMN nirlaba tersebut.
d. Penataan Zona Perdagangan Eceran
Seperti halnya Indonesia, di Thailand jumlah peritel dalam berbagai jenis berkembang pesat sejak ekonomi pulih dari krisis moneter. Sebagian besar peritel di Thailand adalah toko tradisional dan sebagian kecil (dari segi jumlah) adalah convenient store. Supermarket pernah hampir mencapai 500 toko, tetapi kemudian berkurang menjadi 438 toko (2005), sedang hipermarket tumbuh konstan mencapai 29 unit (2005). Lihat Tabel 3.

Pemerintah Thailand sangat serius menangani masalah ritel dan memberlakukan undang-undang ritel Royal Decree for Retail Act yang berisi aturan zona, jam buka, harga barang, dan jenis ritel. Dengan adanya UU tersebut maka Pemkot Bangkok Metropolitan menetapkan zona-zona perdagangan eceran. Misalnya zona barat daya, zona tenggara, dan zona timur laut ditetapkan, kemudian dengan menarik garis vertikal dan horizontal ditentukanlah zona satu, dua, tiga, empat dan lima. Setiap zona diperuntukkan bagi ritel kelompok tertentu agar tidak terjadi ketimpangan persaingan usaha, yang berakibat sekelompok pedagang ritel menurun omzetnya karena keberadaan ritel jenis lain didekatnya, seperti yang terjadi di Jakarta. Persisnya, UU Ritel itu mengatur penerapan zona atau tempat usaha satu jenis ritel, seperti hipermarket berada pada zona empat atau lima, sedangkan zona satu hingga tiga hanya diperuntukkan untuk warung tradisional, grosir dan supermarket. Aturan zona juga melarang pusat perbelanjaan atau toko berskala besar pada daerah padat arus lalu lintas.
Thailand dikenal sebagai negara tujuan investasi yang menarik dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun pandangan kestabilan politik di Thailand yang mendukung masuknya modal asing telah memudar menyusul terjadinya gejolak politik pada tahun 2006. Reputasinya sebagai negara tujuan investasi mengalami kemunduran. Thailand saat ini membutuhkan langkah yang tepat untuk memulihkan iklim investasinya yang memburuk. Membangkitkan kepercayaan investor agar kembali menanamkan modalnya diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Pemerintah Thailand menawarkan berbagai insentif kepada perusahaan domestik dan asing yang berniat menambah modal.
Thailand mengandalkan ekspor komponen elektronik/komputer/mobil dan produk-produk pertanian lainnya, di samping pariwisata, untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Utang pemerintah dijaga tidak melebihi 50% PDB dan pembayaran utang dipertahankan rendah agar ada ruang untuk membiayai pembangunan.
Kebijakan dan program pembangunan prasarana, sektor pertanian, peningkatan ekspor, upaya mendorong UKM dan dukungan pada ritel lokal patut mendapat perhatian bagi pembuat kebijakan ekonomi Indonesia dalam rangka membangkitkan sektor riil yang saat ini stagnan.

Peranan Sektor Luar Negeri Terhadap Perkembangan Perekonomian Thailand

Hubungan Ekonomi Perdagangan Thailand-Indonesia Meningkat


​ Hubungan bilateral Thailand-Indonesia di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi terus mengalami peningkatan pada tahun 2013.

Hal ini tercermin antara lain dari angka pertumbuhan nilai investasi dan perdagangan antara kedua negara, semakin meningkatnya kunjungan oleh pejabat dan pengusaha di kedua negara, semakin menguatnya konektifitas antara kedua negara terutama konektifitas masyarakat yang didukung dengan semakin banyak penerbangan antar kedua negara.

Peningkatan tersebut juga dilakukan dalam upaya kedua pihak mempersiapkan diri menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Pada Pertemuan Komisi Bersama (Joint Commission Meeting/JCM) ke-8 tanggal 13-14 November 2013 di Bangkok, kedua pihak mencatat pertumbuhan angka perdagangan yang terus meningkat, dari USD 3 miliar tahun 2002 menjadi USD 19 miliar di tahun 2012. Kedua pihak sepakat untuk terus meningkatkan nilai perdagangan antar dua negara untuk keuntungan bersama.

Nilai perdagangan bilateral Thailand dan Indonesia pada periode Januari – November 2013 tercatat sebesar USD 17,747.60 juta dengan penurunan sebesar 0.02% dibandingkan periode yang sama di tahun 2012 yaitu USD 17,750.67 juta.

Pada periode Januari – November 2013, nilai ekspor Thailand ke Indonesia mencapai USD 10,262.55 juta, sementara nilai impor Thailand dari Indonesia sebesar USD 7,485.05 juta. Dalam perdagangan bilateral tersebut, Indonesia mengalami defisit sebesar USD 2,777.5 juta. Angka defisit ini menurun sebesar 0.7% dari periode yang sama di tahun 2012 yaitu USD 2,779.56 juta.

Bidang investasi mengalami kenaikan. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia, per September 2013 tercatat investasi Thailand di Indonesia mencapai USD 104.142.600, untuk 29 proyek.

Nilai tersebut naik sebesar USD 36.142.000 dari tahun 2012 yang tercatat sebesar USD 68.000.000 dengan 17 proyek. Sementara itu, PTT Global Chemical dari Thailand dan Pertamina dalam tahun 2013 juga telah menandatangani persetujuan usaha bersama di bidang pembangunan pabrik petrokimia di Indonesia senilai USD 5 miliar.

Investasi Indonesia di Thailand juga mengalami peningkatan pada tahun 2013. Menurut data dari Board of Investment (BoI) Thailand, pada tahun 2012 investasi Indonesia di Thailand tercatat sebesar 42.000.000 Baht (USD 1.312.500). Sedangkan di tahun 2013 meningkat menjadi 1.521.500.000 (USD 47.546.875).

Meningkatnya investasi Thailand di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Thailand dalam hal ini BoI yang menetapkan Indonesia sebagai negara tujuan utama investasi Thailand di samping Myanmar dan Vietnam. Dalam upaya untuk terus meningkatkan nilai perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Thailand, pada tanggal 26 November 2013, para pengusaha dan profesional Indonesia di Bangkok membentuk Indonesia-Thailand Chamber of Commerce (INTCC).

Referensi :
http://ridgenotritz.tumblr.com/post/47445861738/penyelesaian-masalah-ekonomi-thailand
http://www.kemlu.go.id/Pages/Embassies.aspx?IDP=14676&l=id